BANDARQ ONLINE – Malapetaka di Kaki Gunung Tambora Menyebar hingga Eropa
Dengan asumsi ada bajak laut, sang nakhoda memutuskan angkat sauh. Selama tiga hari, Benares menyisir pulau-pulau di dekatnya, mencari jejak para lanun. Namun, tak ada apapun ditemukan.
Sementara itu di Ternate. Warga Inggris yang ada di sana mendengar bunyi tembakan meriam besar. Kapal Teignmouth, yang dikirim untuk mengusutnya, pulang dengan tangan kosong.
Komandan militer di Yogyakarta sontak menyiagakan pasukannya. Ia khawatir musuh sedang menyerang desa tetangga. Di wilayah pesisir, aparat menafsirkan itu adalah sinyal dari kapal yang mengalami masalah di tengah laut. Kapal penyelamat dikirim untuk mencari para penyintas yang ternyata tak ada.
Bunyi misterius itu juga sampai ke telinga Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Ia mengasumsikan, itu adalah suara tembakan meriam.
“Suara tersebut terasa sangat dekat, bahkan di sejumlah distrik seakan di depan mata. Umumnya, itu dikaitkan dengan erupsi Merapi, Kelut, atau Bromo,” tulis Raffles dalam buku The Year without Summer, karya William K. Klingaman dan Nicholas P. Klingaman, seperti dikutip dari situs Scientific American.
Saat awan abu melayang di atas Jawa, sinar matahari memudar, udara panas dan lembab bikin sesak, segala sesuatu terlihat beku. Hening yang tak wajar. “Mirip pertanda gempa,” tulis Raffles.
Namun, beberapa kali kemudian, bunyi ledakan mereda. Hujan abu masih mengguyur, namun tak lagi deras dan pekat. Raffles kembali hanyut dalam tugas-tugas rutinnya.
Ternyata, itu baru permulaan…
Pada 10 April 1815, sekitar pukul 22.00, Gunung Tambora kembali erupsi. Kali itu jauh lebih dahsyat. Tiga kolom lava yang berkobar ditembakkan ke udara.
Seluruh bagian gunung setinggi 4.300 meter itu ditutupi lava pijar, abu yang muncrat, air yang menggelegak, dan batuan panas terlontar liar ke segala arah.
Batu-batu apung panas, seukuran kelereng hingga dua kali lipat kepalan tangan orang dewasa, menghujani Desa Sanggar yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Tambora.
Dalam satu jam, abu dan debu dalam jumlah masif terlempar hingga atmosfer Bumi. Kegelapan menyelubungi puncak gunung, yang sedang berkobar, dari pandangan manusia.
Tatkala awan abu menebal, lava panas yang tumpah ke lereng gunung memanaskan udara di atasnya. Hingga ribuan derajat Celcius. Udara panas dengan cepat naik, meninggalkan ruang hampa yang memungkinkan terciptanya angin puyuh yang kemudian menumbangkan pepohonan, meratakan rumah-rumah, menyapu manusia, ternak, dan kuda.
Hampir setiap rumah di Sanggar binasa. Desa Tambora, yang lebih dekat, lenyap di bawah timbunan batu apung yang masih membara. Lava dalam jumlah besar tumpah ke laut, memicu tsunami setinggi hampir 4,5 meter, yang menerjang apapun yang ada dalam jangkauannya.
Ledakan hebat dari reaksi lahar dengan air laut yang dingin melemparkan abu dalam jumlah yang lebih besar ke atmosfer. Ladang batu serpihan apung tercipta di sepanjang garis pantai yang mengganggu lalu lintas kapal selama beberapa tahun kemudian.
Kapal Inggris Fairlie menjumpainya di Samudra Hindia Selatan pada Oktober 1815, yang jauhnya lebih dari 3.218 km. Para awak sempat mengiranya sebagai rumput laut.
Bunyi rentetan meriam yang lebih dahsyat terdengar saat Tambora erupsi untuk kali keduanya.
Di Fort Marlborough atau Bengkulu, para tetua desa menyimpulkan asal muasalnya adalah dari alam gaib. “Disimpulkan bahwa asalnya adalah tarung antar-jin…,” demikian dilaporkan aparat yang ada di sana.
Sementara, di Gresik, warga di sana menduga, ledakan itu adalah ‘artileri supernatural’ milik Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul, yang dilepaskan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya.
Mereka tak sadar, malapetaka sedang menimpa di kaki Gunung Tambora.