Kode QR Bisa untuk Tarik Uang di Singapura
Muncul pertanda kartu ATM tergeser oleh pertumbuhan zaman. Bank OCBC di Singapura mengaku sebagai bank kesatu di negara itu yang membuka layanan unik uang di ATM dengan QR code yang hadir pada aplikasi.
Dikutip dari Business Insider, Jumat (2/8/2019), pemindaian dapat dilaksanakan lewat software Pay Anyone, lantas transaksi dapat diverifikasi via fingerprint, faceprint, atau memasukan rinci login mobile banking.
Inovasi yang dapat membuat kartu ATM punah ini diciptakan oleh OCBC dalam waktu tidak cukup dari lima bulan. Pihak bank juga sedang berusaha supaya pemakaian inovasi ini semakin meluas.
"Makin tidak sedikit nasabah yang makin tak asing dengan ini dan memindai QR code dalam pembayaran, dan kami hendak membawa kemudahaan, kecepatan, dan ketenteraman yang sama saat mereka mengambil fulus di ATM," ujar Aditya Gupta, kepala bisnis digital Bank OCBC di Singapura dan Malaysia.
Untuk menggunakan fitur ini, nasabah bermukim memilih "Withdraw cast with OCBC Pay Anyone" di layar ATM dan akan hadir kode QR. Pada aplikasi, menu tarik tunai pun akan muncul. Nasabah pun dapat memakai satu software untuk lebih dari satu akun bank.
Layanan memungut uang dengan QR code pun setengah kali lebih cepat. Layanan ini pun tersedia nyaris di semua ATM Bank OCBC, kecuali 22 ATM yang masih baru.
Mengambil duit dengan QR code di smartphone dinilai lebih aman sebab adanya verifikasi biometrik laksana sidik jari. Ini bertolak belakang dengan nomor PIN yang dapat ketahuan atau tercuri. Kartu ATM pun dapat diambil orang, sedangkan bila smartphone dicuri, maka akses ke software bank masih tetap terlindungi
Kadin Ajak BI Masuk ke Ekosistem Mata Uang Digital
Wakil Ketua Kadin Bidang Logistik dan Rantai Pasok, Rico Rustombi mendorong Bank Indonesia untuk tercebur dalam ekosistem mata duit digital. Hal itu dapat menjadi jalan untuk BI mengenal mata duit digital sembari menyiapkan kepandaian untuk mengerjakan pengawasan serta pengaturan.
"Kalau kami berpikir, ditata atau tidak diatur, mekanisme pasarnya jalan. Nah bagaimana bila Bank Indonesia sebagai regulator utama, ikut dalam ekosistem. Dari situ dapat memonitor pertumbuhan dan membuat cryptocurrency yang mempunyai standar yang diciptakan oleh BI," kata dia, di Jakarta, Senin, 29 Juli 2019.
Dia menjelaskan, ketika ini, baik regulator maupun pelaku usaha bahwasannya sedang mempelajari mata duit digital, baik dari sisi manfaat, risiko, maupun kendala dalam pengembangan ke depan.
"Pemerintah pasti harus berhati-hati. Sebagai dunia usaha anda melihat bila urusan regulasi, pemerintah. Urusan kesempatan usahanya, swastanya memikirkan bagaimana kita tidak boleh sampai kehilangan momentum," ujar Rico.
"Saat ini, kita pun belum tahu anda mau buat regulasi yang laksana apa. Kemudian bila pun terdapat (regulasi), sanksinya apa. Kita pun pada hari ini, sanksinya apa. Nggak terdapat kan?," imbuhnya.
Karena itu, dengan tampak dalam ekosistem mata duit digital, BI bisa mendapatkan tidak sedikit masukan mengenai mata duit digital. Hal itu akan berguna untuk BI dalam membuat regulasi yang berhubungan dengan peredaran mata duit digital.
"Kalau sebagai regulator hendak tahu kemudian lintas perniagaan uang (digital), jumlah dana yang beredar, anda sih menggagas daripada di luar sistem masuk ke dalam sistem, ciptakan standar menurut keterangan dari BI," ungkapnya.
"Karena suka tidak suka bila komunitasnya jalan. Daripada nanti sudah kian besar tidak terdapat regulasinya, mengapa tidak sebagai regulator, 'Oke bila mau bikin crypto currency standarnya ini ya'. Standar BI," tandasnya
YLKI: Aduan Konsumen Terkait Fintech Mendominasi di Semester I 2019
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI menulis aduan pinjaman online atau P2P lending (fintech) menjadi aduan tertinggi per semester I 2019. Keluhan fintech meningkat menilik penetrasi teknologi digital sekarang tengah berkembang di Indonesia.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, aduan tentang financial services (layanan keuangan) memang merasakan peningkatan ketika ini, khususnya perihal bunga fintech yang terdaftar melambung tinggi yang merugikan masyarakat.
"Banyak data pengaduan financial service, e-commerce, pinjaman online (pijol). Tapi saya belum lihat datanya secara pasti. Keluhanya guna pijol seringkali bunga yang tinggi, denda nggak rasional, hingga penyadapan data pribadi," tuturnya di Jakarta, Jumat, 19 Juli 2019.
Dia menjelaskan, pihaknya sudah bertemu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membicarakan perihal pertumbuhan pijol baik legal dan ilegal yang sekarang bertumbuh pesat di pasar domestik.
"Kami baru diundang OJK dan memang pijol mesti jadi perhatian betul supaya jangan jadi rentenir online, terutama pijol yang ilegal, sebab baru 100-an saja yang berizin (legal)," ujarnya.
Sebagai informasi saja, per 31 Mei 2019, OJK menulis penyelenggara fintech tercatat dan berizin ialah sebanyak 113 perusahaan. OJK mengimbau masyarakat untuk memakai jasa penyelenggaran fintech peer to peer lending yang telah terdaftar/berizin dari OJK.