Kisah Anak Broken Home di Magetan, Bertahan Hidup dengan Berjualan Gorengan
Menjadi anak korban broken home bukan cita-cita Dinda Eka Wati. Tapi apa daya, dia mesti menanggung beban perceraian kedua orangtuanya. Diusianya yang baru 10 tahun, Dinda mesti menikmati pahit getir kehidupan.
Siswa SDN 1 Kentangan tersebut harus berjualan gorengan usai sekolah. Semua dilaksanakan demi dapat melanjutkan hidup dan mewujudkan cita-citanya sebagai seorang dokter
Saat didatangi Liputan6.com di kediamannya di Dusun Tales, Desa Kentangan, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Dinda tengah sibuk mempersiapkan gorengan guna dijajakan. Letak lokasi tinggal Dinda berada sangat ujung berdampingan dengan sungai. Di sekitar lokasi tinggal berdinding kayu tersebut tampak sepeda butut yang biasa dipakai Dinda berjualan.
"Saya keseharian berjualan gorengan sesudah sekolah. Pulang sekolah jam 12.00. Terus tolong nenek di dapur menyiapkan barang-barang menggoreng tahu isi, bakwan, pisang goring dan masih tidak sedikit lagi,” kata Dinda, Selasa (13/8/2019).
Setelah dirasa lumayan membantu neneknya, Dinda tampak bergegas memungut wadah guna dagangannya. Dirinya pun lantas menuju lemari untuk memungut baju dan jilbab. Tak lama, anak tunggal tersebut sudah siap mengayuh sepedanya guna berjualan.
Dengan sepeda bututnya itu, Dinda mencari jalan-jalan. Terkadang Dinda pun masuk ke perumahan. Rutenya pun lumayan jauh, Dinda kadang mengayuh sepedanya sampai tengah kota atau selama 5 km andai jajannya tidak kunjung habis.
"Gorengan-gorengan. Ayo dibeli gorengannya," teriak Dinda tanpa canggung.
Jika lelah, Dinda juga berhenti menggali tempat teduh. Lalu memungut minum yang sudah dibawanya dari rumah.
Dinda bercerita, berjualan gorengan telah dilakukannya satu tahun belakangan. Dia mengaku, itu dilaksanakan karena keinginannya sendiri, tidak terdapat paksaan dari siapa pun.
Bapaknya lari dari tanggung jawab, tidak menyerahkan uang sepeser juga untuk keperluan Dinda.
"Bapak dan ibu telah pisah lama. Saya tinggal bareng nenek," katanya pelan.
Dinda tidak ingat lagi semenjak kapan orangtuanya berpisah. Yang dia ingat dirinya dari kecil ikut dengan neneknya sampai ketika ini.
Sehingga seluruh kehidupannya seluruh ditanggung neneknya. Uang sekolah pun terkadang ditanggung sang ibu.
"Kasihan nenek cari duit terus. Saya pengen menolong nenek. Makanya saya jualan gorengan," katanya.
Dinda mengaku, dirinya sering bertemu bapak kandungnya ketika menjajan gorengan di Pasar Magetan. Namun Dinda memilih tidak menyapa. Pun dengan si bapak, pun tidak menyapa saat menyaksikan dirinya.
"Ya bila ketemu sih ketemu saja. Tetapi hanya saling lihat saja. Setelahnya ya tidak menyapa," katanya.
Semangat Belajar
Hasil berjualan gorengan, kata Dinda, dapat membiayai sekolah dan kehidupan sehari-harinya bareng nenek. Dia menyatakan setiap harinya mengoleksi uang Rp80 ribu hingga Rp100 ribu.
"Kalau ramai ya terjual semua dapat mencapai Rp100 ribu. Karena gorengan yang saya bawa terdapat 100 jumlahnya. Jualnya kan Rp 1 ribu. Jika berakhir ya bisa Rp 100 ribu," tambahnya. Uang sejumlah itu, lanjut dia, hasil berjualan mulai pukul 13.00 hingga 17.00.
Menurutnya, andai jualannya berakhir langsung pulang ke rumahnya. "Tapi andai belum berakhir ya dikuras dulu. Kalau jam 5 senja sudah tidak terdapat yang beli saya baru pulang," katanya.
Dinda mempunyai dalil sendiri mesti sudah berpulang kepada pukul 17.00. Dia berpedoman, walaupun berjualan gorengan, mesti tetap menyediakan waktu belajar. Dia mengatakan, seringkali meluangkan masa-masa belajar sesudah maghrib.
"Ya mesti tetap belajar. Habis jualan, mandi dan lanjut belajar. Mengerjakan kegiatan rumah yang diserahkan guru saya. Terus belajar buat kelak harinya," tambahnya.
Jadi tak heran, walaupun berlangsung gorengan, Dinda tidak jarang kali masuk 3 besar. Sayang, untuk evaluasi terakhir ruang belajar 4 semester Ganjil ini Dinda belum mengetahuinya. Pasalnya, terdapat yang belum dibayarkan oleh Dinda.
"Ibu belum menunaikan apa gitu. Makanya raport saya masih ditahan. Tapi ndak papa. Saya tetap belajar," katanya.
Jadi Dokter
Dinda hendak mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. "Pengen jadi dokter. Ya mesti belaajr. Dokter kan pinter sebab belajar. Pengen menyembuhkan orang-orang, saya," harapnya.
Sang ibu, Endah Mulyahati menuliskan tidak dapat berbuat tidak sedikit melihat Dinda berjualan. Menurutnya, anak semata wayangnya tersebut tetap hendak berjualan walaupun dilarang.
"Padahal telah saya larang. Tapi tidak mau," katanya.
Termasuk perihal lokasi tinggal, kata dia, Dinda memilih tetap tinggal bareng ibu nya. Padahal dirinya sudah tidak jarang meminta Dinda guna tinggal bareng dirinya.
"Saya suruh tinggal bareng saya. Tetapi tidak mau. Anaknya pengen bareng neneknya. Mungkin sebab sejak kecil telah sama neneknya," ujar Endah.
Di sisi lain, simpati terhadap Dinda mulai bergulir dari sekian banyak pihak. Termasuk dari instasi Polres Magetan. Kapolres Magetanm AKBP Muhammad Rifai menyerahkan pertolongan berupa tas sejikah, sepatu sekolah, perlengkapan tulis dan kitab kepada Dinda. Di samping itu, pun ada pemberian sepeda guna Dinda.
"Ya kami memberikan keperluan untuk sekolahnya. Semoga berfungsi tidak dapat digunakan Dinda guna sekolah," katanya.