DOMINOQQ Sejarah dan bahaya di balik nikmatnya gorengan
DOMINOQQ Bulan puasa penjual gorengan juga menjamur. Misalnya saja, di sepanjang Jalan Mantan Prapatan, Jakarta Selatan, tak sulit mengejar penjaja gorengan yang membuka lapak dadakan, melulu di bulan Ramadan.
PREDIKSI TOGEL PALING JITU Sumarni adalah salah seorang penjual gorengan dadakan di sini. Jelang buka puasa, gorengan barang-barang Sumarni diserbu warga. Salah seorang pembeli gorengan, Dian, terlihat sibuk menggendong bayinya sembari menjinjing kantong plastik sarat gorengan.
“Yang enak sih pastelnya,” kata Dian.
Seorang pembeli lainnya, Heru, malah menggemari gorengan tempe. Apa juga bahan bakunya, gorengan tetap jadi incaran ketika berbuka puasa. Anak-anak sampai orang dewasa kerap menggali gorengan guna mengganjal perut.
Muasal gorengan
Meski populer jadi kudapan berbuka puasa, tetapi sejarawan kuliner Fadly Rahman tak memandang gorengan sebagai makanan yang identik dengan bulan Ramadan.“Sebetulnya, dalam bulan puasa, kolak dan kurma jauh lebih identik daripada gorengan,” ujar dosen Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran itu.
Seiring waktu, lanjut Fadly, menu makanan dalam tradisi berbuka puasa pun memboncengkan gorengan. Fadly menuturkan, gorengan menjelma menjadi makanan populer di masyarakat sebab proses pembuatannya terbilang mudah. Bahan-bahannya juga tak susah didapat.
“Melimpahnya buatan minyak goreng dan konsumsi tepung terigu mendorong bahan-bahan itu dikreasikan sedemikian rupa untuk diciptakan gorengan,” kata Fadly.
Penulis kitab Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) ini mengatakan, gorengan muncul sebab ketidaksengajaan. Makanan sejuta umat ini mulanya diciptakan dari bahan-bahan makanan sisa, yang diubah lagi supaya tak terbuang sia-sia.
Orang Indonesia, khususnya di distrik Jawa, kata Fadly, telah terbiasa memanfaatkan ragam bahan makanan yang tersisa untuk diubah dengan adonan tepung terigu.
“Tradisi ini telah ada sejak mula abad ke-20. Olahan-olahan tadinya seperti rempeyek dan rengginang,” tutur Fadly.
Kemudian, dalam perkembangannya, diubah menjadi makanan, laksana bakwan. Makanan ini, kata dia, dikonsumsi secara tak sengaja oleh masyarakat, dengan mencampurkan bahan-bahan macam kol atau wortel lalu dibaur dengan tepung terigu.
Fadly mengatakan, tradisi menggoreng ragam bahan bareng adonan tepung terigu lekat dengan masyarakat di pedalaman. Lebih lanjut, ia menjelaskan, industri perkebunan kelapa sawit yang masif pada abad ke-20—yang menyulapnya menjadi minyak goreng—ikut andil membuat ragam kreasi kuliner gorengan.
“Dan masyarakat terlanjur bergantung pada minyak kelapa sawit ini, yang memang produksinya membludak ruah. Hal ini pun terjadi mulai tahun 1970-an hingga sekarang,” ujarnya.
Industri kelapa sawit memang tidak sedikit menyasar konsumen lokasi tinggal tangga. Peran minyak goreng tersebut mengusung pamor gorengan sebagai kreasi makanan yang mudah diciptakan dan mengisi selera penikmatnya.
“Gorengan menjadi bagian pun dari sirkulasi penyaluran kepala sawit ini. Bukan saja di ruang domestik, tetapi pun ada di usaha-usaha kecil menengah. Ini menciptakan gorengan menjadi makanan yang semula dalam negeri menjadi dicoba oleh pedagang-pegadang kecil menengah guna konsumsi atau cemilan sehari-hari,” kata Fadly.
Sementara itu, bahan pokok gorengan, yaitu tepung terigu, kata Fadly, dipakai untuk olahan gorengan sebab paling murah, mudah diolah, tak lengket, dan renyah. Tepung terigu, lanjut Fadly, kebanyakan diubah dari bahan baku gandum. Ia menuturkan, tepung terigu dari gandum ini sangat disukai orang Indonesia.
“Terutama pada periode tahun 1970-an sampai 1980-an. Kalau anda perhatikan, impor terigu pada periode tahun 1970 sampai kini jumlahnya terus meningkat. Ini yang menjadi katalisator kenapa tukang gorengan pun semakin banyak,” ucap Fadly.
Berbahaya untuk kesehatan
Nyatanya, tak sekitar yang enak itu dominan baik untuk kesehatan. Berdasarkan keterangan dari dokter spesialis kardiologi yang berpraktik di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Bambang Budi Siswanto, gorengan dapat memicu kolesterol.Yang paling riskan dari gorengan, kata Bambang, terdapat di minyak gorengnya. Bambang mengatakan, penjual gorengan jarang mengubah minyak yang mereka pakai guna menggoreng.
“Minyak tersebut dapat dipakai untuk sejumlah hari. Padahal, minyak goreng seperti tersebut sudah dicemari sama makanan yang digoreng sebelumnya. Sudah tentu kadar kolesterolnya meningkat,” kata Bambang ketika dihubungi, Selasa (28/5).
Lebih lanjut, Bambang mengatakan, kolesterol dari gorengan dapat menyumbat pembuluh darah, dan dapat menyempit. Akibatnya, jantung makin berat memompanya.
“Bisa hipertensi dan selesai strok. Di samping itu, minyak gorengan dapat membuat tenggorokan gatal dan mengakibatkan batuk-batuk,” ujar Bambang.
Minyak goreng yang dipakai berulang kali, kata Bambang, dapat membuat komponen minyak itu pulang menjadi unsur beda yang tak baik untuk kesehatan.
Penggunaan minyak berulang kali, kata Bambang, menciptakan komponen minyak telah pulang menjadi unsur beda yang tidak baik untuk kesehatan. Minyak tersebut kemudian mengiritasi jaringan empuk yang sedang di dalam mulut, lidah, dan tenggorokan.
“Sebelum menyentuh lambung, minyak yang enggak bagus itu menggores jaringan lunak. Ya tentu mengiritasinya, makanya dapat batuk-batuk dan beda sebagainya,” tutur Bambang.
Bambang menganjurkan untuk menciptakan gorengan berdikari di rumah, dan mengubah minyak secara rutin. Takaran minyak dan teknik pemakaiannya, kata dia, adalahbagian terpenting guna meminimalisir akibat buruk santap gorengan.
Bambang juga mengingatkan, guna orang yang sedang membayar ibadah puasa, tidak boleh langsung makan, sebelum minum air manis atau menyantap kurma. Sebab, usai berpuasa berjam-jam, tiba-tiba dijejali makanan, buatan asam lampung bakal naik berlebih.
“Apalagi tersebut gorengan. Produksi asal lambung meningkat, buat sakit mag. Ini puasa niatnya guna menyembuhkan, malah kian parah,” tutur Bambang.