Kisah Seorang Perempuan dari Keluarga Taat Beragama yang Menjadi Lesbian
DOMINO99 - Selama bertahun-tahun Miriam menyembunyikan orientasi seksualnya kepada keluarganya, kalangan Muslim taat.
Saat akhirnya ia mengaku, ayahnya tak mau lagi mengakuinya sebagai anak. Namun pengakuan itu mengakhiri kehidupan gandanya, yang harus selalu berpura-pura menjadi seorang heteroseksual.
"Saya selalu tahu saya tertarik dengan sesama jenis sejak saya berusia empat atau lima tahun, saat saya mencium teman baik saya di ruang mantel."
"Namun, saya baru mulai mengeksplorasi ketertarikan itu di perguruan tinggi. Kami saat itu memiliki akses internet di rumah dengan akses putar nomor (dial-up) di kamar saudara laki-laki saya."
"Saya sering menggunakan Yahoo chat dan berpura-pura sebagai seorang laki-laki hanya untuk berbicara dengan kaum perempuan. Saat saya menginjak usia 18 atau 19 tahun, saya berpikir mungkin saya harus mencari perempuan lesbian."
Miriam dibesarkan dalam keluarga Muslim tradisional di Bristol. Kakeknya adalah seseorang yang sangat dominan di keluarga. Secara rutin, kakeknya menyampaikan ajaran Islam ke keluarganya dan mengajak mereka untuk salat lima kali sehari.
Meskipun mengetahui bahwa ia adalah seorang gay sejak kecil, Miriam mengerti bahwa membuka orientasi seksualnya pada keluarganya akan berujung konflik. Dia mencoba sekeras mungkin untuk menyembunyikannya.
Kemudian menemukan cara untuk mengeksplorasi orientasi seksualnya di layanan obrolan daring.
Di perguruan tinggi, Miriam memberanikan dirinya untuk berkencan dengan perempuan. Dia harus menempuh jarak ratusan kilometer supaya tidak ada orang yang melihatnya berkencan.
"Saya pergi ke Manchester atau Hartlepool, tempat-tempat yang ditempuh dalam dua jam dari tempat saya tinggal."
"Saya sangat takut untuk menjalin hubungan dengan orang yang tinggal di kota yang sama dengan saya. Ketakutan itu memenuhi kepala saya - bagaimana jika ada yang memergoki saya di stasiun?"
Meskipun takut diketahui orang, hubungan ini memberi Miriam kebebasan.
"Saya memastikan pacar saya tidak meninggalkan 'tanda cinta' di leher saya. Namun ketika saya sedang bersamanya, itu sangat menyenangkan. Saya berpikir, 'Ya Tuhan, saya melakukan ini. Saya memiliki pengalaman seksual dengan perempuan lain, ini luar biasa'."
"Saat itu, orang-orang tidak mencurigai bahwa saya sedang menjalin hubungan jarak jauh. Saya bertemu dengan satu perempuan sekali setiap bulan. Saya menemuinya dengan kereta, bertemu selama berjam-jam, pergi ke pub dan makan. Kami sangat terbuka, saya merasa sangat bebas."
Beberapa hubungan berlangsung lebih panjang: selama satu tahun, dia pergi ke Burnley, dekat Manchester, untuk menemui pacarnya, seorang perempuan Muslim yang sudah menikah dan memiliki satu anak.
"Saya biasanya tinggal di penginapan. Suaminya bekerja di malam hari dan pada pukul 18.30 dia akan pergi kerja. Saat itu, saya akan masuk melalui pintu belakang. Saya biasa menyalakan alarm pada pukul 05.30 pagi dan keluar dari pintu belakang lagi. Hal itu sangat ganjil. Keluarganya mengenal saya sebagai seorang 'teman yang bertamu '.
"Mereka tidak pernah mengira saya adalah partner seksual perempuan itu dan suaminya pun tidak pernah memergoki saya. Semua itu sangat naif. Saya tidak memandangnya sebagai suatu masalah karena saya sudah biasa hidup dalam kerahasiaan. Namun, saat saya memikirkan tentang hal itu sekarang, itu sangat memuakkan karena saya berpikir, 'bagaimana saya dapat melakukan itu?'"
Miriam bahkan pernah membawa kekasihnya itu ke rumahnya di Bristol dengan mengatakan pada keluarganya bahwa perempuan itu adalah temannya.
"Dia adalah seorang Muslim. Jika saya membawa orang lain, mungkin itu akan sangat sulit. Oleh karena perempuan ini bertampang Asia, lebih mudah bagi saya untuk memperkenalkannya ke keluarga saya, dibanding jika saya membawa pulang seseorang berkulit putih. Dia memahami kebudayaan dan agama kami - dia tahu cara untuk bertingkah laku yang tepat."
"Kamar saya memiliki dua ranjang. Orang tua saya tidak pernah masuk ke kamar saya, jadi kami tidur di ranjang yang sama. Kami mengeksplorasi dunia baru ini, hal itu terasa luar biasa dan melegakan."
"Namun, ia kemudian pindah ke Arab Saudi dan bagi saya hal itu terasa seperti bencana. Hal itu sangat menyakitkan karena apa yang kami miliki saat itu hampir sempurna."
Pada usia 21 tahun, Miriam dan pasangannya bertunangan. Dia ingin memberi tahu ibunya tentang 'peristiwa besar' ini, namun dia tahu itu akan sangat menyakitkan.
"Dia mengatakan dia tidak pernah menduga bahwa ada anaknya yang akan membawa aib begitu besar seperti yang saya lakukan. Setelah itu, ia berbicara panjang lebar tentang ajaran agama. Dia mengatakan 'Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan - jika kamu membaca Quran, tidak ada suami yang berpasangan dengan suami atau istri dengan istri'."
"Saya memahami reaksinya karena dia tidak paham soal homoseksualitas. Namun, cinta untuk anak perempuannya berkonflik dengan latar belakangnya. Dia khawatir tentang saya karena dia yakin saya hidup dalam dosa. Saya dapat melihat bahwa ia sangat terluka."
Miriam mengatakan hubungannya dengan ibunya menjadi sangat menguras emosi dan dalam kurun waktu enam bulan, yang ada hanya 'jeritan dan tangisan'
Dia tak lagi pulang ke rumah dan merasa bahwa hubungan mereka tidak akan pulih, tapi ibunya sepakat untuk merahasiakan soal Miriam. Hal itu terjadi sepuluh tahun sebelum Miriam mengaku kepada ayahnya. Miriam dan pasangannya yang sekarang baru bertunangan, merasa itu adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu ayahnya.
"Tidak ada padanan kata untuk gay, lesbian, biseksual dalam bahasa Punjabi dan Urdu yang saya tahu. Jadi, saya mencoba menjelaskan dengan menyamakannya dengan hubungan antara ayah dan ibu saya."
"Ayah saya mengatakan : Kamu paham soal Islam. Kamu pergi ke masjid dan membaca Quran. Kamu tahu kan, hal itu dosa? Sejauh yang saya tahu, saya benar dan kamu salah. Apa yang kamu lakukan bertentangan dengan ajaran Islam."
Miriam mengatakan ayahnya memberinya dua pilihan: meninggalkan pasangannya dan kembali ke rumah atau menyerahkan kunci rumah dan tidak pernah kembali lagi untuk menginjakkan kaki di rumah.
"Intinya, dia mengatakan bahwa dia tidak mau lagi berurusan dengan saya atau mengakui saya sebagai anak."
Ayahnya melarang ibunya untuk menemui Miriam, meski ibunya tetap ingin berkomunikasi dengan anaknya. Mereka bertemu beberapa kali di rumah saudara perempuan Miriam, tapi Miriam mengaku dia sudah tak lagi berusaha mengubah persepsi ibunya soal homoseksualitas.
"Ketika kamu meninggalkan agama dan kebudayaan serta mengabaikan perasaan orang lain, kamu hanya perlu berpikir 'dia adalah ibu saya dan saya adalah anaknya', dan itulah satu-satunya yang kamu punya. Ketika saya masih muda saya berpikir 'Saya benar dan dia salah'. Hanya ada hitam dan putih. Namun, sekarang semuanya abu-abu. Perasaannya benar dan perasaan saya juga benar."
Miriam belakangan ini bertemu dengan ayahnya dalam sebuah pertemuan keluarga, yang dihadiri sanak keluarga yang tidak tahu soal orientasi seksualnya.
"Saya menggunakan kesempatan itu untuk bersikap normal. Ketika ayah saya mau berangkat kerja, saya mendekatinya dan memberinya pelukan. Tubuhnya sangat kaku, tapi saya memeluknya selama 10 detik lebih, hanya untuk bersentuhan dengannya, karena saya sangat merindukannya."
"Saya bisa saja pergi begitu saja meninggalkannya waktu itu seperti yang dia minta, tapi saya bisa terus mencoba (dan itulah yang akan saya lakukan)."
Di agama Islam, Kristen dan Yahudi, homoseksualitas adalah dosa. Ketika banyak kalangan agama mulai menerima homoseksualitas, umat Islam di negara-negara barat bertahan dengan pandangan ortodoks.
Miriam, dan kekasihnya sekarang, seorang warga negara Inggris, berencana untuk menikah di tahun 2020. Dia berencana mengenakan gaun tradisional dan mungkin ditandai beberapa motif Asia. Namun, yang lain bisa berpakaian 'se-gay mungkin'.
Perempuan berusia 35 tahun ini sekarang fokus untuk mendirikan grup yang dinamai 'Bristol Queer Muslims'. Dia berharap grup ini dapat menjadi tempat yang aman untuk komunitas LGBT+ Muslim untuk bertemu tanpa rasa takut akan diskriminasi.
"Saya pikir Islam adalah agama yang sangat tertutup. Jika melihat para pemeluknya yang berusia lanjut, mereka terlihat seperti hidup di abad ke-8, bukan abad ke-21. Namun, sebetulnya sangat mungkin untuk menjadi Islam sekaligus gay."
"Saya sangat percaya, meski saya sering berpacaran dengan perempuan di masa lalu, dulu saya belum jujur dengan diri saya sendiri. Pengalaman-pengalaman saya membuat saya tidak hanya lebih kuat, tapi membuat saya lebih menerima diri saya apa adanya."